Penderitaan Palestina

Penderitaan rakyat Palestina makin hari makin parah. Ditutupnya perlintasan Rafah dan hanya dibuka beberapa kali saja, maka praktis Rafah masih terkunci, sejak 35 hari yang lalu.

Hukuman massal yang diterima rakyat Palestina, berupa blockade Zionis dan siasat isolasi yang terus menerus, secara komulatif telah menyentuh setiap sendi kehidupan rakyat Gaza. Sejak saat itu, ribuan orang berdesakan di dekat pintu Rafah. Mereka berharap dapat dibukakannya pintu gerbang oleh badan perlintasan dan perbatasan. Akhirnya pintu gerbang kembali dibuka setelah mendapat nota saling kesepahaman dengan pihak Mesir. Tapi itu hanya beberapa hari atau jam saja.

Sementara itu, berdasarkan laporan dari badan perlintasan dan perbatasan, Rabu (10/2) yang dilansir infopalestina menunjukan, selama tahun 2009 kemarin, penutupan pintu gerbang Rafah yang terus berlanjut telah menyebabkan ribuan rakyat Palestina terluka. Mereka hidup dalam kondisi kemanusiaan yang sangat menyedihkan. Kematian mengancam kondisi kesehatan mereka, terutama anak-anak, pasien sakit dan orang tua.

Warga Palestina yang ingin berangkat ke luar negeri harus menunggu berhari-hari di pintu perlintasan, menyebabkan banyak diantara mereka yang kehilangan mata pencahariaanya di luar negeri, akibat lama tak diizinkan keluar dari Gaza.


Ratusan pasien yang mengidap kanker, jantung ataupun hati harus berdesakan antri menunggu diizinkan keluar Gaza untuk dapat berobat di luar. Departemen kesehatan Palestina mencatat, selama tahun 2009 terdapat 1899 pasien kanker. Sebanyak 1050 diantaranya terkena tumor dan 849 pasien lainya terkena kanker darah. Jumlah wanita yang terkena kanker ini sebanyak 770 dan anak-anak sebanyak 223 orang.

Sementara itu ratusan mahasiswa yang pulang ke keluarganya saat liburan, tak dapat kembali ke kampusnya masing-masing di luar Gaza. Berdasarkan data yang tercatat, jumlah mereka mencapai 600 mahasiswa.

Di sisi lain, badan perlintasan dan perbatasan mengatakan, masa tenggang dibukanya perlintasan yang begitu panjang mengakibatkan penderitaan rakyat bertambah. Kondisi ini memperparah sakit mereka. Padahal mereka sangat butuh untuk keluar. Padahal menurut undang-undang tidak boleh membiarkan kondisi masyarakat yang butuh keluar dengan alasan kemanusiaan.

Sejumlah pembicaraan telah dilakukan dengan para pejabat Mesir, demi untuk membukakan pintu keluar bagi rakyat Gaza di tengah kondisi kemanusiaan yang sangat mengkhawatirkan. Ditambah sejumlah mahasiswa akhirnya tidak dapat melanjutkan kuliahnya di universitas tempat mereka belajar.

Badan ini menegaskan tentang pentingnya pembukaaan Rafah secepat mungkin, mengingat ada sejumlah pasien yang harus segera ditangani atau harus segera dioperasi. Pembicaraan dengan sejumlah pejabat Mesir tidak pernah berhenti. Para pejabat terkait diharapkan melakukan kebijakan membuka kembali perlintasan agar rakyat dapat berobat atau melanjutkan kuliahnya di luar Gaza.


mplikasi rezim Mesir dalam mengadopsi proyek penjajahan Zionis terutama pada kasus blokade rakyat Palestina di Gaza, berujung pada penghukuman rakyat Palestina. Satu-satunya dosa atau kesalahan rakyat Palestina di Gaza adalah karena mereka menolak menyerah.

Pemerintah Mesir pun membangun tembok baja yang tujuan akhirnya untuk melindungi keamanan regional Mesir. Sebuah pertanyaan, apakah mungkin rakyat Palestina menjadi ancaman bagi Mesir, padahal sering kali rakyat Palestina menghadang gerilyawan Zionis yang dengan kemampuannya yang sederhana dapat mengobok-obok keamanan Mesir. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, bahkan rezim Mesir berupaya mencuci otak sejumlah orang, bahwa Israel ingin menjadikan wilayah Sinai untuk relokasi warga Palestina. Inilah rencana musuh Zionis sebenarnya yang tentu siapapun di antara kita tidak ada yang terima ide negara alternative bagi Palestina.

Pemerintah Mesir melakukan penangkapan terhadap warga Palestina, pembunuhan atau penyiksaan. Mereka menerapkan hukuman khusus bagi warga Palestina, hingga tidak bisa naik banding atau peninjauan ulang terhadap vonis tersebut. sebagai pra-kondisi untuk vonis hukuman politik. Namun, pada saat yang sama, pemerintah Mesir rajin menggembar-gemborkan bahwa mereka para pelindung Palestina. Mereka adalah bangsa yang realistis dan moderat.

Akan tetapi, terkait dengan para pendukung perlawanan, satu-satunya cara untuk menghadapi pembunuhan sadis dan biadab oleh Zionis, pemerintah Mesir justru menangkapinya, menyiksanya dan menghukum para pahlawan perlawanan, karena mereka telah membantu perlawanan di Palestina. Sering kali Abu Gaith, menteri luar negeri Mesir, secara terang-terangan mengatakan, dirinya akan mematahkan setiap kaki rakyat Palestina yang berani menyeberangi garis perbatasan, walau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akhir-akhir ini, dan bukan yang terakhir, pemerintah Mesi melalui pasukan keamananya menyemprotkan gas beracun dan mematikan ke lubang terowongan yang biasa dilakukan rakyat untuk membeli kebutuhan pokoknya. Akibatnya, empat warga Palestina dikabarkan meninggal. Mereka juga menghancurkan sejumlah terowongan padahal di dalamnya masih ada beberapa orang manusia Gaza.

Pertanyaanya, kenapa rezim Mesir memperlakukan rakyat Palestina seolah-olah musuh yang mengancam keamanan?. Sementara musuh sebenarnya, bebas mengobok-obok keamanan dan mengancam rakyat Mesir. Mereka berkonspirasi untuk mengambil hak rakyat Mesir terkait pengairan sungai Nil. Seperti Lieberman yang sebelumnya mengancam akan menghancurkan bendungan Al-Ali. Akan tetapi, masih saja mereka sambut dengan hangat dan dihormati setinggi-tingginya oleh pemerintah Mesir.

Perlawanan Palestina suatu ketika masuk dalam arena pertempuran pemilu internal di Mesir. Sejumlah calon kuat dan mumpuni yang berpeluang menang ternyata melakukan sejumlah kejahatan demi kepentinganya untuk memantapkan kedudukanya sebagai orang yang paling dekat dengan Amerika atau Israel. Dan untuk menambahkan kepercayaan ini, mereka akan melumuri tangan mereka dengan membasmi rakyat Palestina di Gaza. Seolah hal tersebut merupakan prioritas utama untuk menduduki tahta kemenangan di masa yang akan datang.

Tampaknya KTT di Sirte Libya kemarin, seolah menutup mata dari semua tindakan rezim Mesir dan menganggapnya sebagai urusan internal. Dari semua peserta KTT, tidak ada satupun yang walau dengan malu-malu mengungkapkan masalah tersebut. Mereka bahkan tak mau menghentikan normalisasinya dengan Zionis atau berhenti menekan tetangganya sesama bangsa Arab yang dianggapnya akan menghancurkan Mesir, sebagai imbalan atas tuntutan perdamaian yang mustahil terwujud.

Sesuatu yang harus diingat bangsa Arab, Gaza adalah bagian dalam perjanjian dengan Mesir. Artinya Gaza mengikuti Mesir dalam perjanjianya dengan Israel, hingga negara tersebut kembali menjajahnya pada tahun 1967. Dengan demikian seharusnya kemerdekaan Gaza harus dimulai dari Mesir. Tetapi ketika Mesir malah berperan dalam menekan pihak yang selama ini membela Mesir, maka tindakan tersebut merupakan kejahatan besar.

Para syuhada yang meninggal kemarin akibat semprotan gas mematikan oleh keamanan Mesir. Sementara ia memberikan gasnya untuk kehidupan di Israel. Sangat kontras dan menyakitkan. Bukan karena persaksian dusta Arab atas kejahatan nazi terbaru yang memakai baju Arab. Namun untuk generasi yang akan datang yang akan merasakan terhina, akibat dikirimkanya bau kematian ke Gaza dan kehidupan bagi musuh Zionis. Bagaimana dunia akan menghormati, siapa pembunuh satu setengah juta manusia yang hidup di Gaza dan ditahan hak-hak makan maupun obat-obatannya ?.

Jika tiba masanya para sekutu menodai tempat suci kita dan ketika mereka memejam matanya dari kerusakan fondasi Masjid Al-Aqsha. Ketika mereka menghancurkan pemerintahan dengan darah rakyat musuhnya, karena mereka memilih untuk melawan. Apakah mereka telah melalaikan tanah Mesir untuk Mossad dan pasukan koalisi serta menyerahkan kemuliaan rakyatnya ?.

Telah tiba saatnya rakyat Mesir menyadari, bangkit dari aib, dan membuang ilusi keamanan regional. Tidak ada keamanan bagi Mesir, tidak ada pula kepercayaan, kedaulatan, kesejahteraan ketika system dirampas hingga sesuap makanan untuk hidup, termasuk sungai Nil. Seolah, penjajahan internal lebih dahsyat bagi kita di negara Kinanah (Mesir). Kita berharap pemerintah Mesir melupakan Palestina dan rakyat Palestina dan membebaskan mereka dari belenggu hitam. Akan tetapi pada saat yang sama, kami menyerukan rakyat Mesir ini agar tidak lupa dengan masalah kita semua, untuk membebaskan tanah airnya sendiri dari belenggu penjajahan yang mengangkangi kemulian Mesir dan hatinya.

Telah banyak tinta ditumpahkan untuk membicarakan tentang tembok baja yang dibangun oleh Mesir di perbatasan dengan Jalur Gaza. Banyak ulama dan politisi Mesir menentangnya. Namun penentangan itu segera dijawab oleh para pendukung rezim dan politisinya. Jawaban yang paling menonjol atas penentangan itu adalah dalih “kedaulatan dan keamanan nasional.”
Orang-orangIsrael banyak diuntungkan oleh pembangunan tembok ini dibandingkan pihak manapun, dengan sendirinya banyak yang berbicara tentang hal ini, terlebih mereka banyak menikmati keterbukaan dalam berbicara tentang sekutu dan musuh-musuh mereka sekaligus. Mereka (tepatnya media masa mereka), tidak ragu untuk mengungkapkan masalah apapun, yang tidak sepenuhnya menjelaskan cerita kebebasan ( meskipun ada dalam konteks). Karena sebagiannya dimaksudkan menghina negara-negara dan pihak-pihak yang bekerjasama dengan negara mereka.


Apa yang kita bicarakan hari ini bukan merupakan kompilasi dari apa yang dikatakan oleh orang-orang Israel selama berminggu-minggu mengenai kasus tembok baja tersebut. Namun kesimpulan dari sebuah laporan, tidak lebih. Yang ditulis koresponden surat kabar al Quds al Arabi yang terbit di London yang ditugaskan di dalam wilayah-wilayah pendudukan 48, Zuhair Andrew. Laporan ini diterbitkan pada tanggal 3 Februari ini. Di dalam laporan tersebut para politisi dan wartawan Israel mengungkap cerita tembok baja dalam semua rinciannya. Perincian itu tidak berbeda sama sekali dengan apa yang berulang-ulang kami sebutkan, sebagaimana juga disebutkan oleh banyak pihak selain kami, di antaranya adalah orang-orang Mesir dari berbagai kalangan dan latar belakang ideologi yang berbeda.

Wartawan Israel (Alex Fishman), seorang ahli urusan keamanan dan dekat dengan kalangan pengambil keputusan di Israel. Dia mengungkap awal dimulainya proyek ini ketika mantan Menteri Luar Negeri Israel Tzepi Livni mencapai kesepakatan dengan sejawatnya dari Amerika Condoleezza Rice mengenai pemberian kemudahan patroli angkatan laut Amerika-Eropa-Israel di Laut Tengah dan jalur-jalur perairan yang menuju ke Laut Tengah untuk mencegah penyelundupan senjata ke Jalur Gaza. Demikian juga dicapai kesepakatan untuk mencegah penyelundupan melalui darat. Hal ini mendatangkan protes dari rezim Mesir (karena tidak berkonsultasi dengannya). Namun segera saja rezim Mesir menyampaikan kepada orang-orang Amerika mengenai kesiapannya untuk berpartisipasi dan bekerjasama (Jadi senjata, adalah isu yang paling penting).

Laporan ini juga mengutip koran Israel Yediot Aharonot, yang mengatakan bahwa pembuat keputusan militer dan politik di negara Zionis mendapatkan foto udara dan laporan-laporan tentang kemajuan kerja di tembok (baja). Yang kesemuanya menegaskan keseriusan Mesir dalam “menutup celah-celah penyelundupan senjata”. Koran ini mengutip dari seorang perwira senior Israel yang sangat terkesan dengan usaha Mesir. Dia menambahkan pembicaraan tidak hanya sekadar masalah tembok baja, tetapi suatu sistem rintangan yang saling terintegrasi, berkaitan dan saling terhubung, yang pada gilirannya merupakan kesimpulan dari rencana Amerika yang disiapkan oleh Departemen Pertahanan Amerika. Departeman Pertahanan Amerika kemudian melatih tim-tim Mesir untuk menerapkannya.

Terkait dengan motif Mesir di balik pembangunan tembok baja, laporan ini mengutip kata-kata L’Dore Gold, dalam sebuah wawancara dengan televisi Channel 10 Israel. Gold adalah mantan wakil Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mantan penasihat politik Netanyahu. Dia mengatakan bahwa faktor-faktor internal rezim Mesir yang paling penting dalam mendorong Kairo untuk bekerja sama dengan Washington dan Tel Aviv dalam membangun tembok baja. Dia menyatakan bahwa permasalahan yang paling penting dalam konteks ini tercermin pada “jaminan kepastian transisi kekuasaan dari presiden kepada putranya Gamal Mubarak dengan mulus dan tanpa masalah.”

Namun yang lain, menurut laporan, menyatakan bahwa alasan lain pembangunan tembok baja adalah karena keberadaannya sebagai sarana lain yang digunakan untuk menggulingkan pemerintahan Hamas di Jalur Gaza. Pernyataan ini dikutip laporan tersebut dari Zvi Bar’el, kementator urusan Arab di koran Ha’aretz.

Tinggal lah paradoks yang tersisa dari laporan. Hal ini tercermin dari apa yang dinukil dari dua penulis Israel. Yang pertama adalah Amos Gilboa, yang menulis di harian Maariv, dia mengatakan, “Ketika negara Arab paling besar mencekik orang-orang Palestina dengan cara ini, mengapa ada yang mengharapkan kita untuk memperlakukan mereka dengan lembut. Apakah kita harus menjadi raja-raja lebih dari raja. Orang-orang Arab sedang mencekik orang Arab, mengapa kita tidak belajar dari pelajaran ini?.”

Penulis yang kedua adalah Yisrael Harel, yang menulis di harian Ha’aretz, dia mengatakan, “Sudah jelas bagi siapa saja yang memiliki dua mata di kepalanya bahwa yang memblokade orang-orang Palestina, membuatnya kelaparan dan berupaya membunuh mereka adalah Mesir, dan bukan Israel. Itulah yang harus kita katakan kepada dunia, tanpa malu dan tanpa ragu-ragu. Mengapa kita harus membayar apa yang dilakukan Mubarak?.”

Setelah semua itu, datang orang yang berbicara dengan Anda tentang kedaulatan dan hak-hak nasional, kecuali kalimat yang lebih banyak mengecam orang yang mengatakannya daripada membelanya. Apalagi, semua orang yang berakal pasti akan bertanya mengapa tidak dibangun tembok serupa di perbatasan dengan entitas Zionis?. (Yasser Ya’atera/Harian al Dustur Yordania

sumber:www.dakwatuna.com