UU TELEKOMUNIKASI
UU No. 36 Tahun 1999 Telekomunikasi
Telekomunikasi terdiri dari dua kata. “Tele” dan “komunikasi”. “Tele” berarti jauh dan “komunikasi” berarti berhubungan atau saling tukar informasi antar dua pihak. Jadi telekomunikasi bisa diartikan pertukaran informasi antar dua pihak, pihak pengirim dan pihak penerima, dimana terdapat jarak di antara keduanya [1].
Telekomunikasi menurut UU BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 yang terkandung dalam UU. no 36 tahun 1999 yang berbunyi "Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Lainnya." [2].
Adapun tujuan dari pembuatan UU No. 36 Tahun 1999 mengenai telekomunikasi ini agar setiap penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia dapat mengerti dan memahami semua hal yang berhubungan dengan telekomunikasi dalam bidang teknologi informasi dari mulai azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana [3].
Pada UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 menjelaskan tentang asas dan tujuan telekomunikasi, yang berbunyi “Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, ETIKA, dan kepercayaan pada diri sendiri.” [2]. Salah satu kata yang disinggung pada kutipan UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 tersebut mengenai etika. Etika adalah suatu sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesanggupan seseorang secara sadar untuk mentatati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat atau suatu organisasi.
Contoh Kasus UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 [4] :
Adapun contoh kasus yang melanggar UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 yaitu, sebuah peretasan kartu kredit dan kartu debit yang menggunakan virus untuk mengambil data pada sistem komputer merchant yang menggunakan mesin EDC (Electronic Data Chapter). Data yang telah dicuri itu kemudian diperjualbelikan di situs-situs intenet.
"Setelah dicuri, data-data itu kemudian dijual di forum khusus yang harus menjadi member dulu kalau mau beli di situ." kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hery Santoso kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (30/5/2013).
Forum jual beli data kartu kredit secara ilegal itu yakni www.topdumpspro.com, www.icq.com dan www.dumps777.com. Data kartu kredit yang ada di ketiga situs tersebut merupakan hasil curian yang dilakukan cracker yang berada di luar negeri.
"Virus ini menyerang sistem komputer toko yang bersifat keylogger untuk mencuri data." kata dia.
Dari hasil penelusuran tim cyber, pencurian itu dilakukan di Stuttgart, Jerman; Perancis; Shanxi, China; Pittsford, USA.
"Satu data kartu kredit ini dijual seharga US$ 20-50." kata dia.
Sementara itu, Max Charles Taluo dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) mengatakan, sudah ada 12 bank besar di Indonesia yang data-datanya dicuri oleh cracker yang berada di luar negri itu.
"Pelaku menggunakan data-data nasabah yang ada di bank di Indonesia untuk transaksi retail di luar negeri" kata Max.
Nah, di Indonesia, data yang berhasil dicuri adalah data-data kartu kredit dan debit yang pernah bertransaksi di 7 merchant Bodyshop di Jakarta. Data-data tersebut kemudian dibeli oleh tersangka KN setelah mengakses situs jual-beli kartu kredit ilegal.
"Tersangka KN dan FA menjual data ke tersangka SA dengan total harga Rp 6 juta." kata Kasubdit Sumdaling Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Nazli Harahap.
Tersangka FA juga memberi kartu kosong yang dapat diisi data sewaktu-waktu, kepada tersangka SA seharga Rp 1 juta. Tersangka SA sendiri menggunakan data kartu debit dan kredit untuk dibelanjakan. Jakarta, 5 Mei 2015.
Analisis Kasus :
Berdasarkan kasus tersebut dan UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 yang dilanggar telah dikutip kata “Etika”, etika tersebut umumnya telah dilanggar pelaku yang sebagai pengguna internet dan seorang programmer. Seorang pengguna internet tidak mempergunakan, mempublikasikan dan atau saling bertukar materi dan informasi yang memiliki korelasi terhadap kegiatan pirating, hacking dan cracking. Lalu, seorang programmer tidak boleh membuat atau mendistribusikan Malware[5].
Kode etik pada kutipan etika di dalam UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 2 tersebut dilanggar, karena pada kasus cyber crime pelaku yang pengguna internet melakukan kegiatan ilegal berupa cracking pada kartu kredit / debit dan mejualnya secara ilegal. Juga telah membuat atau mendistribusikan sebuah Malware berupa virus yang membuat keylogging, yang fungsinya mengambil data-data pribadi pemegang kartu kredit / debit untuk kemudian dimanipulasi kartu kredit tersebut dan menimbulkan kerugian.
Pendapat :
Kejahatan yang menyalahgunakan telekomunikasi umumnya terjadi karena seseorang yang berprofesi dalam bidang IT umumnya tidak didasari oleh etika di dalam bidangnya. Maka, sebelum melakukan terjun menjadi seorang yang profesional dalam profesi bidang IT tersebut, adakalanya mereka mendapatkan bimbingan dan pengarahan terkait etika dan profesi di dalam bidangnya masing-masing sebelum akhirnya mereka terjun menjadi seorang yang profesional. Atau bisa mempelajari UU No. 36 Tahun 1999 Telekomunikasi.
Sumber:
[3] Stefanus Samuel
[4] Detikom
[5] Rahmat Hidayat