KABUT ASAP SUMATERA DAN KALIMANTAN
JAKARTA, KOMPAS — Kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan sudah masuk kategori darurat karena mengganggu kehidupan masyarakat. Kondisi ini mendesak untuk ditanggulangi lembaga lintas sektoral.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau membentangkan poster di depan patung Selamat Datang yang dipasangi masker pelindung pernapasan saat menggelar aksi peduli bencana kabut asap di Pekanbaru, Riau, Jumat (4/9). Kabut asap yang menyelimuti Sumatera telah mengganggu aktivitas masyarakat, bisnis, dan penerbangan.
ANTARA/RONY MUHARRMAN
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau membentangkan poster di depan patung Selamat Datang yang dipasangi masker pelindung pernapasan saat menggelar aksi peduli bencana kabut asap di Pekanbaru, Riau, Jumat (4/9). Kabut asap yang menyelimuti Sumatera telah mengganggu aktivitas masyarakat, bisnis, dan penerbangan.
Sampai Jumat (4/9), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 156 titik panas sumber kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Dari 156 titik tersebut, 95 titik di Sumatera dan 61 titik di Kalimantan.
Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kabut asap juga menyebar ke sejumlah daerah di sekitar enam provinsi tersebut. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya. Paling tidak sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan.
Dalam rapat terbatas tentang kabut asap di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, Presiden Joko Widodo memerintahkan semua pihak terkait menanggulangi kabut asap tersebut. Penanganan kabut asap secara nasional di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo itu dihadiri Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, serta Sekretaris Jenderal Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono.
"Presiden meminta kepala daerah agar tidak ragu-ragu menyatakan darurat asap. Bencana ini bukan bencana kebakaran hutan, tetapi bencana darurat asap," kata Kepala BNPB Syamsul Maarif di Kantor Presiden.
Meski kondisi kabut asap sudah masuk kategori darurat, pemerintah daerahlah yang berhak menetapkan wilayahnya masuk kondisi darurat asap. Namun, sejumlah provinsi masih menetapkan wilayahnya siaga bencana asap, belum tanggap darurat asap seperti di Riau dan Kalimantan Barat.
Syamsul mengatakan, penanganan kabut asap akan dilakukan secara intensif, salah satunya dengan membuka posko penanganan kabut asap di enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan tersebut. Keberadaan posko itu untuk menguatkan penanganan kabut asap di lapangan yang selama ini sudah berjalan.
Presiden menugaskan Panglima TNI membantu mengerahkan upaya tambahan pesawat TNI dan personelnya. Untuk kementerian dan lembaga terkait, Presiden meminta untuk berkonsentrasi dan mengerahkan program kerja pemerintah ke provinsi terdampak.
Dalam jangka pendek, pemerintah memanfaatkan hujan buatan, pemadaman dari udara dan dari darat. Sejumlah pesawat dikerahkan untuk memadamkan kebakaran lahan di Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, serta di Jambi.
Namun, pemadaman dari udara tidak bisa dilakukan selama penerbangan juga terganggu akibat kabut asap. Hujan buatan juga belum bisa dilakukan karena belum ada awan yang berpotensi hujan.
Petugas sedang menunjukkan pantauan titik panas yang berjumlah sekitar 300 titik di wilayah Sumatera bagian selatan per Kamis pukul 17.00 di Stasiun Meteorologi Kelas I, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandara Sultan Iskandar Muda, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Kamis (3/9). Kabut asap kebakaran hutan di wilayah Sumatera bagian selatan sudah mulai berdampak luas di wilayah Aceh.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Jarak pandang di sekitar Kota Jambi hanya berkisar 600 hingga 800 meter sepanjang Jumat (4/9) kemarin. Indeks Standar Pencemar Udara menunjukkan kualitas udara dalam level berbahaya sebagaimana kondisinya di Jembatan Batanghari 2, perbatasan Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. Pengendalian kebakaran lahan sebagai pemicu pekatnya asap Sumatera harus cepat ditangani.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Merugikan
Kebakaran lahan dan kabut asap telah mengganggu kehidupan masyarakat. Kerugian akibat kebakaran lahan serta kabut asap diperkirakan miliaran rupiah.
Sebagai gambaran, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaksir kerugian akibat kerusakan lingkungan pada kebakaran hutan dan lahan 2014 di salah satu lahan perusahaan hutan tanaman industri seluas 20.000 hektar di Ogan Komering Ilir sekitar Rp 7,9 triliun. Jambi, misalnya, tahun ini mengalami kerugian lebih dari Rp 720 miliar. Kerugian tersebut mulai dari sisi kerusakan lingkungan, terhambatnya kegiatan ekonomi, hingga terganggunya kesehatan warga.
Akibat kebakaran, ribuan hektar hutan dan lahan rusak. Satwa yang menghuni kawasan yang terbakar juga terancam mati.
Di bidang ekonomi, kabut asap terutama mengganggu jadwal penerbangan. Pengusaha ternak sapi dan kerbau di Palembang, Sumsel, Ade Gita Pramadianta, mengatakan, satu pertemuan terkait usahanya tertunda beberapa hari akibat pesawat yang membawa koleganya batal terbang karena kabut asap. "Ini pertemuan usaha untuk membahas kegiatan senilai sekitar Rp 1 miliar," katanya di Palembang, Jumat.
Pendapat :
Inilah dampak dari adanya pembakaran lahan liar ilegal yang ada di Indonesia, bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat sekitar. Jika sudah dapat pelakunya pun tidak mudah bagi bupati yang akan menuntut (pembakar hutan), bisa jadi yang punya (kebun) kelapa sawit, membakar hutan, berhubungan dengan partai tertentu yang kuat di daerah, sehingga bupati atau gubernur tidak gampang juga (bertindak), harus melihat konstelasi politik.
Aktor-aktor tersebut, bekerja seperti bentuk "kejahatan terorganisir" Ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa.
Dengan alasan tidak mempunyai dana untuk membebaskan lahan, maka langkah termudahnya adalah dengan membakar lahan, seharusnya tidak ada kata pilih kasih pada pelaku penangkapan yang telah merugikan banyak pihak, terutama masyarakat yang tidak bersalah menjadi terkena dampak negatif dari asap yang ditimbulkan.
Source : Link