Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Kata religi–religion dan religio, secara etimologi — menurut Winkler Prins dalam Algemene Encyclopaedie–mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang ber-religi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat unsur penting, yaitu: 1) tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung, 2) tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan, 3) tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat, 4) tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana golongan spiritualisme.
Selanjutnya, kata din–secara etimologi–berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang berdin ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.
Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu: 1) tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah, 2) tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah, 3) tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi, 4) tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan yang membimbing manusia yang berakal dengan kehendaknya sendiri untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki empat ciri, yaitu: 1) din adalah peraturan Tuhan, 2) din hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis Nabi yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya: agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal, 3) din harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din (agama), 4) din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.